Diposkan pada Refleksi

Seorang Pengamen Jogja di Suatu Sore..

Setiap hari libur tiba, saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah kota yang membuat setiap orang rindu kepadanya, Yogyakarta.

Suatu sore, saya mengunjungi salah satu kedai bakso di daerah Nologaten. Seperti biasa, di sela-sela waktu makan, paling tidak, akan ada satu orang pengamen yang menghampiri sembari menyanyikan sebuah lagu. Apapun itu.

Warung bakso yang saya kunjungi tersebut tidak menempelkan sebuah kertas putih bertuliskan semacam “dilarang mengamen”, “ngamen, gratis”, di dindingnya. (karena seringkali saya membaca kalimat semacam itu yang sengaja ditempelkan di beberapa warung atau toko).

Kembali soal pengamen.

Sebelum membawakan lagu yang akan dinyanyikannya, ia mengucapkan kata “permisi” sebagai pembuka, dilanjutkan dengan menyanyi dan memetik gitar sembari berkeliling menghampiri meja demi meja.

Saya sebenarnya tidak begitu menikmati lagu yang dibawakannya, namun satu hal yang selalu saya ingat dari pengamen tersebut, juga pengamen-pengamen di Jogja yang selalu saya temui di beberapa tempat.

Hal yang selalu saya ingat adalah, mereka (pengamen di Jogja) selalu mengucapkan “permisi, terima kasih, lalu berpamitan dengan diiringi senyum ramah. Si pengamen selalu bersikap sama kepada semua orang yang ia hampiri, ramah. Ia tak peduli ia diberi imbalan atau tidak dari pendengarnya.

Mengapa saya katakan seperti itu?

Karena itulah yang saya temui selama lima tahun lebih hidup di Jogja, dan tidak pernah berubah.

Saya pindah ke Jakarta pada tahun keenam, dan selalu saya sempatkan untuk mengunjungi Jogja selagi ada masa liburan. Dan itu semua tidak berubah.

Bahkan sore tadi, saya kembali melihat seorang pengamen yang masih sesuai dengan karakteristik orang Jogja yang saya ketahui, ramah dan tidak marah kepada mereka yang tidak memberikan imbalan kepadanya.

Entah apa yang sebenarnya ia rasakan, yang saya tahu, ia selalu bersikap ramah dan tidak menunjukkan sikap marah atau tidak sopan kepada orang-orang yang ia kunjungi.

Hal tersebut yang selalu membuatku rindu kepada Jogja.

Jogja selalu istimewa, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya.

Sekali kau mengunjungi  daerah “istimewa” Yogyakarta ini, seumur hidup kau akan merindukannya.

Diposkan pada Refleksi

2020 Starter Pack

Photo by cottonbro on Pexels.com

Saya bosan setiap tahun selalu menulis resolusi di tahun baru, lagi, dan lagi. Pada akhirnya, resolusi di tahun selanjutnya akan tetap ditulis sama dengan tahun sebelumnya. Atau mungkin saja ada deretan impian baru, yang akan tetap terselip beberapa resolusi yang sama dengan tahun lalu. Mungkin karena belum tercapai, mungkin juga karena malas merealisasikan, atau entah karena ada alasan lain, atau mungkin karena semesta belum mau bekerja sama untuk mewujudkannya.

Apapun itu, life must go on.

Resolusi saya tidak muluk-muluk di tahun ini. Cukup ada sesuatu yang bisa membuat bangga diri sendiri, juga orang lain. Satu hal yang tentu akan saya wujudkan adalah mengurangi hobi rebahan. Itu adalah kunci dari segala kesuksesan. Haha. Mungkin terdengar aneh, tapi itu nyata.

Starter pack yang mesti disiapkan dari awal tahun ini adalah semangat, kurangi rebahan, dan niat Lillahi Ta’ala. Itu semua merupakan jalan ninja menuju kesuksesan hakiki. Haha.

Siapkan buku bacaan, buku tulis, alat tulis (pulpen, pensil, spidol, atau apalah itu), laptop komplit dengan charger-nya, lalu mulailah menulis!

Tahun baru, harapan baru, semangat baru, prestasi baru.

Saya yakin, seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti banyak mahasiswa yang memimpikan untuk mengikuti wisuda di tahun ini. Saya pun. Oleh karena itu, sederet starter pack yang sudah saya sebutkan di atas sebenarnya adalah packaging yang dibutuhkan oleh semua mahasiswa yang memiliki harapan seperti saya, wisuda di tahun ini.

Tahun depan adalah waktu untuk melompat lebih tinggi. Mungkin kita tidak tahun apa yang akan terjadi di tahun 2021. Sebab itu, kita realistis saja. Manfaatkan bulan-bulan awal di tahun yang baru ini dengan hal-hal yang bermanfaat tentu saja.

Saya sudah khatam membaca empat buku di seminggu awal tahun ini. Mungkin kau tak percaya, tapi itu kenyataannya.

Mungkin kau bertanya-tanya, bagaimana bisa saya mengkhatamkan empat buah buku dalam waktu seminggu?

Gampang, bacalah buku yang kau suka. Bacalah buku yang menurut kau tidak rumit. Sederhana, ringan, namun reflektif. Bacalah buku yang membuat kau bergumam, “oh iya ya”.

Tapi itu semua terserah kau, saya hanya bercerita.

Saya pun belum tahu, minggu depan saya akan membaca berapa buku, dan buku apa? Atau mungkin bahkan tidak sama sekali. Tapi semoga tetap akan ada buku yang saya baca. Mau ngga mau, saya harus membaca, karena saya harus mengerjakan tesis untuk tugas akhir kuliahku di semester ini. Sekian.

Diposkan pada Refleksi

Cerita di Penghujung dan Awal Tahun

Photo by Pixabay on Pexels.com

Sebelum 2019 berakhir, saya tidak menuliskan apapun di sini. Bahkan saya tidak menggoreskan tinta sedikit pun di buku tulis.

Entah saya harus bersyukur atau sedih, atau harus seperti apa ketika mendengar kabar tersebut.

Alasannya sederhana sih, saya mengisi waktu liburan di Jogja. Saya ke Jogja di penghujung tahun 2019, tepat tiga hari sebelum Jakarta dilanda musibah banjir.

Saya bersyukur karena pada saat musibah besar tersebut, saya sudah berada di Jogja. Saya tidak terjebak di Jakarta yang sebagian besar jalannya mengalami kelumpuhan total akibat banjir.

Namun di sisi lain, saya merasa tidak pantas mengucapkan rasa syukur, karena bagaimana pun keadaannya, hal tersebut merupakan musibah untuk semua penduduk Jakarta. Saya pun sudah setahun lebih menjadi penduduk domisili Jakarta. Tentu saya merasa tidak pantas jika saya bersyukur hanya karena saya sudah berada di tempat aman ketika tempat domisili saya tersebut justru terkena musibah yang cukup besar.

Dilema perasaan yang saya alami akhirnya berakibat pada kesehatan fisik saya sendiri. Walaupun saya selamat dari musibah banjir yang melanda Jakarta, Bogor, dan sekitarnya, saya justru sakit di kota lain. Saat itu saya berada di Yogyakarta.

Mungkin sakit yang menghampiri saya saat itu justru membuat saya merasa lega karena saya bisa turut merasakan “ketidak-enakan” menutup tahun dan mengawali tahun baru dengan keadaan yang tidak pernah kami harapkan sesungguhnya.

Bagaimana pun, semesta selalu memiliki cara tersendiri untuk menyapa kita. Mungkin akan ada anugerah di balik musibah yang menimpa kita masing-masing. Yang penting, selalu husnuzon saja kepada Tuhan. Tuhan Maha Asyik kok.

Baiklah, nanti kita cerita tentang hari ini.

Begitu pun, nanti kita sambat tentang hari ini.

Diposkan pada Refleksi

Cara Menghadapi Quarter Life Crisis

Photo by Julian Jagtenberg on Pexels.com

Hi, readers!
Saya lelah.
Seminggu ini saya memaksakan diri untuk multitasking.
Bukan multitasking sih, tapi membagi pikirian dalam waktu yang bersamaan.

Oke, readers..
Kali ini saya akan membahas cara untuk mengurangi atau menyikapi kondisi ketika kita berada dalam keadaan QLC:
Setidaknya, berikut yang bisa saya uraikan:

  1. Menyadari semua pencapaian yang sudah kita dapatkan: Ketika kita berada di titik jenuh, istirahatlah sejenak. Ingatlah segala jatuh bangun yang sudah kita lewati hingga hari ini. Nyatanya, kita sudah melewati hari-hari dengan segala usaha yang kita miliki. Kita memiliki nilai yang belum tentu orang lain miliki juga. Apresiasi segala capaian yang sudah kita dapatkan selama ini.
  2. Berpikir positif dan yakin atas keputusan yang diambil: Jangan terlalu dibawa pikiran tentang apa yang sudah menjadi keputusan kita. Yakinlah jika kita sudah memikirkan konsekuensi dan telah menjatuhkan keputusan yang terbaik untuk diri kita. Ingatlah bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensinya masing-masing. Bahkan ketika kita memutuskan untuk tidak memilih pun, itu adalah pilihan kita.
  3. Menyempatkan diri untuk berbagi cerita kepada orang lain: Bercerita dan membangun komunikasi dengan orang lain adalah hal yang positif untuk kita. Berbagilah cerita dengan orang lain, maka kita akan menemukan pandangan yang lebih luas.
  4. Mencoba berbagai aktivitas baru yang bisa membuat kita menjadi lebih produktif: Terkadang kita mengalami QLC karena kita sudah bosen dengan ritme hidup yang kita jalani selama ini. Cobalah untuk bereksplorasi, mencari sesuatu yang baru, atau menekuni aktivitas yang kita suka dengan cara berbeda. Carilah aktivitas yang bisa meningkatkan produktivitas kita. Bisa dengan cara apapun yang kau senangi, asal bisa membuat kita menjadi produktif.

Sebenarnya, tulisan-tulisan saya di blog pribadi ini juga tidak lepas dari dinamika kehidupan saya secara personal.

Saya menulis apa pun yang ada di blog ini sebagai self healing untuk diri saya sendiri. Hanya saja, berbeda cara penyampaiannya dengan tulisan saya di media pribadi, seperti laptop dan buku tulis.

Di sisi lain, saya juga ingin berbagi dengan pembaca. Kali aja ada pembaca yang merasa cocok dengan tulisan-tulisan saya. Yang baik-baik silakan diambil, yang buruk-buruk dan tidak sesuai dalam tulisan-tulisan saya, abaikan saja.

Diposkan pada Refleksi

Quarter Life Crisis

Photo by Lisa Fotios on Pexels.com

Hi, readers!


Kalian sudah tau kan Quarter Life Crisis itu apa dan bagaimana? Siapa saja yang mengalami? Kapan kemungkinan mengalaminya? Di mana kejadiannya?
Loh, kok kayak berita malahan.


Jadi, QLC bisa dialami oleh siapa saja, di mana saja. QLC itu masa-masa krisis yang menimpa kehidupan seseorang, khususnya di usia 20-30an.. (kalo saya ngga salah sih ya)


Kenapa bisa mengalami QLC?
Biasanya, karena di usia tersebut seseorang sedang dalam pencarian jati diri.


Memang, garis kehidupan kita sudah ditentukan Tuhan sejak kita berusia 40 hari di dalam kandungan. Namun terlepas dari itu, kita sendiri tidak tahu akan seperti apa kehidupan kita selanjutnya.

Kita diberi ruang dan waktu untuk belajar, berproses, terbentur, terbentur, terbentur, lalu kemudian terbentuk.


Selama proses tersebut, kita mencoba segala hal, mencari mana yang baik untuk kita, belajar dari kesalahan dan kekeliruan kita, dan macam-macam.
Di sisi lain juga ada banyak faktor yang kemudian menggiring kita pada fase krisis kala kehidupan dewasa datang, atau QLC.


Apa tanda-tandanya kita memasuki fase QLC?
Kira-kira tandanya akan seperti ini:

  1. Membandingkan kehidupan diri sendiri dengan hidup orang lain
  2. Sering mengalami cemas yang berlebihan sebelum atau setelah memutuskan sesuatu
  3. Mulai sering mempertanyakan perihal kehidupan
  4. Sering merasa sedih dan merasa sendiri
  5. Tidak memiliki motivasi
  6. Mulai kehilangan arah dan tujuan hidup

Ya kira-kira itulah minimal gejala yang ditimbulkan dari Quarter Life Crisis. Mungkin sebenarnya masih banyak gejala lain yang belum saya tuliskan di sini.
Lalu bagaimana cara menghadapi QLC?
Nanti kita bahas di tulisan selanjutnya ya..

Diposkan pada Refleksi

Cara Mengurangi Overthinking

Photo by energepic.com on Pexels.com

Hi, readers!

Adakah di antara kalian yang sering mengalami overthinking? Setiap orang pasti pernah mengalami keadaan tersebut sepertinya ya.. Aku pun.

Overthinking itu ngga enak banget. Kita bisa berpikir secara berlebihan secara sadar atau tidak sadar. Bahkan untuk hal-hal yang belum tentu terjadi sekalipun. Seperti ada rasa cemas ketika kita akan melakukan atau sudah melakukan sesuatu. Ada saja yang dipikirkan, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak penting.

Overthinking tentu akan mengganggu aktivitas kita. Kita takut jika akan melakukan sesuatu. Takut hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, atau bahasa lainnya adalah ada ekspektasi yang begitu tinggi, dan akan merasa gagal ketika hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

Atau mungkin memikirkan banyak hal yang sudah dilalui, ada rasa penyesalan, ada rasa takut, khawatir, cemas, dan sebagainya yang akhirnya mengganggu pola hidup kita. Tidak bisa tidur, misalnya. Atau tidak nafsu makan, padahal ya sebenarnya lapar juga sih, tapi ya gimana ya namanya ngga nafsu. Hehe.

Penyebab kita tidak bisa tidur salah satunya adalah overthinking. Walaupun kita hanya bengong, melamun, berusaha tidak memegang handphone agar bisa tidur, tapi nyatanya tetap tidak bisa tidur. Ya itu karena otak kita masih mikir. Otak kita masih melakukan aktivitas berpikir, jadi kita tidak akan bisa merasa mengantuk, karena otak tidak lelah-lelahnya memikirkan segala hal. Mungkin kita merasa bahwa tidak ada hal apapun yang kita pikirkan, namun sebenarnya, tanpa kita sadari, kita sedang memikirkan sesuatu.

Oke, intinya sangat mengganggu sekali.

Jadi gimana caranya mengurangi overthinking? Mari kita berbagi:

  • Dialog dengan Diri Sendiri

Kita butuh waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. Kontemplasi. Evaluasi diri. Lalu, berdamai dengan diri sendiri. Bagaimana kita bisa berdamai dengan orang lain jika kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri?

  • Kita Butuh Orang Lain

Oke, jangan biarkan diri kita terlalu sendiri atau mengisolasi diri dari orang lain. Bagaimana pun juga, kita mahluk sosial, butuh berinteraksi dengan orang lain. Jangan pendam masalah kita sendirian, walaupun kita tidak butuh solusi dari orang lain, just tell it. Ketika kita overthinking, mungkin kita butuh orang lain untuk mendengarkan kita. Kita butuh cerita. Oke, misal kau tidak ingin orang lain tau atau ikut campur masalahmu, tapi tidak munafik, kita butuh cerita kepada orang lain, tidak meminta solusi, tidak apa-apa. Kita hanya butuh pendengar yang baik, setidaknya kepada satu orang yang kau percaya. Setelah itu, yakinlah, beban pikiranmu akan berkurang dan perasaan kita akan menjadi lebih baik.

  • Tuliskan Masalahmu

Jika kau benar-benar merasa tidak ada satu orang pun yang kau percaya, kau bisa tulis masalahmu di media apapun; buku, secarik kertas, laptop, komputer, hp, dll. Tulis apa saja yang kau pikirkan, dan kira-kira apa solusi terbaik dari dirimu sendiri untuk memperbaiki keadaan tersebut. Tulis semuanya yang kau rasakan saat itu. Ketika kita sedang merasa baik-baik saja, baca lagi tulisan lama kita. Mungkin kita hanya bisa tersenyum dan berterima kasih kepada diri sendiri karena sudah bisa melewati masa sulit itu.

  • Olahraga

Di dalam tubuh yang sehat, ada jiwa yang kuat. Mungkin itu benar adanya. Ketika fisik kita sehat, Insya Allah mental dan jiwa kita juga akan sehat. Selain itu, waktu kita bisa jadi lebih bermanfaat karena mengalihkan pikiran-pikiran buruk kita kepada aktivitas yang baik dan menyehatkan.

  • Berikan Reward untuk Diri Kita

Berterima kasihlah kepada diri kita. Berikan ia reward. Lakukan hal-hal positif yang membuatmu senang dan melupakan masalah-masalahmu. Setidaknya kita masih diberikan ruang untuk menikmati hidup ini tanpa terus-terusan dihantui masalah yang membuat kita menjadi overthinking.

Mari berjuang bersama, mari kita bahagia bersama. Terlalu buruk hidup kita jika kita tidak bisa menikmati hidup yang semestinya. Kita berhak bahagia.

Diposkan pada Refleksi

Difabel dan Disabilitas: Mana yang Lebih Ramah?

men playing soccer
Photo by Anas Aldyab on Pexels.com

Hi, readers!

Masih pada bingung ngga sih sama penyebutan difabel dan disabel (atau disabilitas)?

Tidak sedikit orang yang menganggap dua kata tersebut sama saja yang ditujukan kepada penyandang khusus.

It’s okey kau mau menyebut dengan kata difabel atau (penyandang) disabilitas. Namun yang jelas, kita harus tau dulu nih makna dari dua kata tersebut. Kita mulai dari definisi yang sudah disepakati dalam KBBI.

Difabel dalam KBBI diartikan sebagai penyandang cacat. Sedangkan disabilitas dalam KBBI adalah keadaan seperti sakit atau cedera yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang; keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa.

Di Indonesia, butir 1 UU Nomor 8 Tahun 2016 menggunakan istilah “penyandang disabilitas”, yang berbunyi: Lanjutkan membaca “Difabel dan Disabilitas: Mana yang Lebih Ramah?”

Diposkan pada Refleksi

Berterima kasihlah kepada Dirimu Sendiri

purple petaled flower and thank you card
Photo by Giftpundits.com on Pexels.com

Hi, readers!

Apa saja yang sudah kau kerjakan hari ini? Apa saja tanggungan dan tugas yang sudah selesai kau kerjakan hari ini? Atau kemarin, atau tadi malam, mungkin?

Dalam keadaan berat dan merasa tidak memiliki siapa pun, ada suatu waktu di mana saya menyadari bahwa saya masih memiliki diri saya sendiri. Selain berdialog intens dengan diri sendiri, bahkan saya sering menulis dialog antara diri saya dan sisi lain diri saya sendiri. Ya, menulis. Ditulis.

Saya sudah lama tidak menulis sesuatu tentang diri saya di Lanjutkan membaca “Berterima kasihlah kepada Dirimu Sendiri”

Diposkan pada Refleksi

Agama dalam Perspektif Deisme

DeismeHi, readers!

Bahasan kali ini akan seperti biasanya, tidak berat, tapi semoga tetap bisa menjadi refleksi kita bersama.

Sudah tahu kan pengertian deisme? (Jika belum, berarti anda belum membaca tulisan yang sebelum ini). Haha. Tapi tak apa, nanti saya jelaskan lagi.

Jadi, menurut KBBI, deisme merupakan pandangan hidup atau ajaran yang mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta, namun tidak mengakui agama karena ajarannya didasarkan atas keyakinannya pada akal dan kenyataan hidup.

Oke, itu yang akan kita bahas sekarang.

Jadi gaes, sudah sadarkah kalian bahwa akan ada orang-orang di sekeliling kita atau orang yang kita temui ternyata memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda dengan kita? Bukan hanya berbeda agama, tapi juga berbeda konsep dan landasan berpikir terkait agama. Lanjutkan membaca “Agama dalam Perspektif Deisme”

Diposkan pada Refleksi

Perbedaan Agnostik, Deisme, Panteisme, dan Ateisme

ask blackboard chalk board chalkboard
Photo by Pixabay on Pexels.com

Hi, readers!

Pernah ngga sih kalian mendengar istilah-istilah dalam paham kepercayaan, seperti istilah agnostik, deisme, panteisme, atau ateisme?

Mungkin yang lebih sering didengar adalah ateis atau ateisme, ya.

Nah, karena kebanyakan orang hanya paham dengan terma ateis saja, oleh sebab itu, masih banyak yang keliru dengan istilah-istilah terkait kepercayaan selain ateisme, misalnya antara agnostik dan deisme.

Baiklah, mari kita pahami dulu pengertian dari masing-masing istilah tersebut. Lanjutkan membaca “Perbedaan Agnostik, Deisme, Panteisme, dan Ateisme”