Diposkan pada Islam dan Kebangsaan

Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia

four toddler forms circle photo
Photo by Archie Binamira on Pexels.com

Hak Asasi Manusia adalah hak yang diberikan Allah sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga ia bersifat suci. (John Locke)

Berbicara tentang HAM, maka substansinya adalah membicarakan bagaimana manusia dimanusiakan atau memanusiakan manusia. HAM berbicara tentang keadilan, persamaan, tidak adanya diskriminasi antara manusia satu dengan manusia lainnya, serta mewujudkan perdamaian di muka bumi.

Sejatinya, substansi HAM bersifat universal karena merupakan pemberian Tuhan. Semua Negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Hal demikian sering disebut dengan istilah wacana lokalitas atau partikularitas HAM.

Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau kelompok biasanya bersumber pada kekhasan nilai budaya, agama, juga tradisi setempat. Pada jaman sekarang, kelompok yang meneriakkan HAM, toleransi, dan perdamaian tentu tidak terlepas dari pembicaraan tentang feminisme.

Istilah feminisme sengaja penulis sebutkan karena di beberapa tempat, terkadang seseorang melupakan keseimbangan antara pria dan wanita. Padahal semestinya, di antara kedua pihak memiliki hak masing-masing sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan.

HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat HAM sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.

Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (aparatur pemerintahan, baik sipil maupun militer), dan negara.

HAM merupakan salah satu pencapain terbaik di zaman modern. Pengalaman pahit sejarah kelam umat manusia baik karena perbudakan ataupun karena kerusakan dan kekejian akibat perang satu dan dua telah mengajarkan para pemimpin bangsa-bangsa di dunia untuk menyepakati pijakan bersama dalam mengelola perbedaan.

Dalam studi dunia Islam, isu tentang HAM termasuk studi yang menuai pro dan kontra. Di satu sisi, studi HAM merupakan sesuatu yang muncul dari Barat sehingga sebagian pemikir Islam menganggap bahwa pemikiran Barat sarat dengan kepentingan kapitalisme dan westernisasi yang di dalamnya terkandung muatan sekularisasi yang mengancam eksistensi Islam.

Sementara pemikir Islam moderat berpandangan bahwa masalah HAM adalah masalah Islam juga. Manakah pendapat yang paling kuat di antara keduanya?

Ada suatu ungkapan yang menggelitik dari bapak pluralisme kita, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur. Kata-kata yang ia tinggalkan ketika masih hidup itu ternyata masih memberikan ruh kehidupan yang terkadang disalahpahami oleh pihak tertentu.

Mungkin hampir semua pecinta Gus Dur sangat akrab dengan ungkapan; “Tuhan tidak perlu dibela”. Sepintas kalimat tersebut menimbulkan kontroversi di tengah pendengarnya, namun tidak akan terjadi hal tersebut jika kita lihat kalimat selanjutnya. “Karena Dia Maha Segalanya. Bela-lah mereka yang terpinggirkan dan terdiskriminasi.”

Statement tersebut masih banyak menuai kontroversi karena hanya dibaca kalimat “Tuhan tidak perlu dibela” saja tanpa ada keinginan untuk menelusuri makna di balik ungkapan tersebut. Hal yang membuat miris sekarang adalah banyaknya orang yang berkomentar dan berkicau (terutama di sosial media) tanpa mau memperkaya literasi sehingga komentar yang kemudian terucap adalah ucapan yang menimbulkan kebencian dan kemarahan.

Manusia-manusia tersebut yang biasa disebut sebagai provokator alias dalang dari sebuah keributan yang muncul di tengah kehidupan masyarakat yang mudah terprovokasi (juga).

Tantangan terbesar atas perlindungan HAM pada saat ini adalah beberapa oknum yang muncul ke permukaan atas nama agama, yakni mereka yang meneriakkan kepada jutaan umat manusia bahwa golongan merekalah yang paling benar di antara golongan lain.

Dewasa ini, sudah bukan rahasia lagi ketika kita melihat banyak sekte-sekte agama yang saling berebut “jamaah” satu sama lain. Padahal secara logika, tanpa berebut pun, jika ada suatu golongan yang dinilai bagus di tengah masyarakat, maka sudah barang tentu banyak yang akan mengikuti barisannya tanpa diminta bahkan dipaksa.

Gesekan yang terjadi di masyarakat tersebut yang akhirnya melalaikan manusia untuk saling menghormati hak antar sesama. Hal tersebut dikarenakan setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan efek baik dan buruk bagi orang lain. Hal yang selalu dibayangkan adalah kenikmatan yang akan diperoleh oleh dirinya sendiri.

Kini, sudah sangat sulit membedakan antara kebaikan dan keburukan. Mereka merupakan dua oposisi yang berseberangan. Satu hal yang pasti, yakni “yang mengetahui kebenaran hanyalah kebenaran itu sendiri”.

Tantangan terbesar lainnya yang sekarang dihadapi oleh warga Indonesia adalah hilangnya kepercayaan. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya golongan dan macam-macam aliran yang saling menruh kecurigaan satu sama lain. Banyak mata-mata yang menghantui kehidupan sosial mereka. Akibat yang ditimbulkan adalah perasaan ingin menang sendiri dan menginginkan kelompok lain tenggelam serta kehilangan eksistensinya.

Jika kita renungkan lebih dalam sedalam-dalamnya, alangkah indahnya jika sesama manusia saling menghormati hak satu sama lain. Namun hal tersebut tak kunjung menjadi kenyataan. Hal tersebut seolah-olah hanya menjadi bunga tidur semata.

Wacana terkait HAM sudah tersebar luas dan bahkan tercecer di jalanan, namun tetap masih banyak oknum yang tidak mengindahkan wacana tersebut. Wacana hanya sebatas wacana yang tak mampu terlaksana dengan sempurna.

Artikel ini pernah dipublikasikan di Situs qureta saya.

Penulis:

Santri Backpacker

Tinggalkan komentar