Diposkan pada Refleksi

Belajarlah Menjadi Pendengar yang Baik

woman wearing blue top beside table
Photo by Christina Morillo on Pexels.com

“Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga agar kita lebih bisa mendengar daripada berbicara.”

Mahir dan percaya diri dalam berbicara atau menyampaikan sesuatu kepada orang lain adalah impian sebagian orang karena dianggap memberikan nilai positif. Oleh karena itu, banyak orang yang berusaha mengikuti kelas atau pelatihan public speaking agar bisa terlatih berbicara di depan publik tanpa ada rasa grogi.

Sebelumnya, perlu kita ketahui apa itu public speaking?

Pada dasarnya, ini adalah presentasi yang diberikan langsung kepada audiensi. Public speaking dapat mencakup berbagai macam topik yang berbeda. Tujuannya bisa untuk mendidik, menghibur atau mempengaruhi pendengar. Sering kali, alat bantu visual dalam bentuk slide show elektronik digunakan untuk melengkapinya agar lebih menarik bagi pendengar.

Training public speaking dapat melatih mental seseorang dan mengajarkan seseorang untuk menyampaikan pembicaraan, presentasi, pidato dengan percaya diri, tanpa grogi, dan dapat menyampaikan ke publik dengan bahasa lugas dan tertata atau tersistematis.

Namun sebaliknya, mengapa tidak ada training for deep listening? 

Mengapa tidak ada pelatihan untuk seseorang menjadi pendengar yang baik? Mengapa hanya public speaking?

Nyatanya, banyak orang yang berhasil melatih dirinya untuk dapat berbicara di depan publik dengan sangat baik, namun masih banyak orang yang belum bisa menjadi pendengar yang baik.

Padahal, Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut agar kita lebih bisa mendengar daripada berbicara. Namun kenyataannya, masih banyak orang yang belum bisa menggunakan kedua telinganya dengan efektif.

Yang saya maksud di sini bukanlah tuli secara medis, namun yang saya maksud adalah kurang bisa menghormati orang lain dengan cara menjadi pendengar yang baik.

Dalam banyak kasus, kita seringkali mengabaikan ucapan orang lain; orang tua, kakak, adik, teman, guru, dan semua orang yang pernah berinteraksi dengan kita.

Ketika ada seorang adik yang mengadu atau mengeluh kepada kakaknya, si kakak terkadang tidak mau mendengarkan keluhan adiknya, yang ada justru ucapan-ucapan justifikasi yang sebenarnya bukan itu yang dibutuhkan oleh si adik.

Atau ketika ada seorang anak yang berbagi cerita kepada orang tuanya, namun karena tidak bisa menjadi pendengar yang baik, orang tua enggan mendengar cerita si anak yang dianggapnya sebagai hal sepele. Seperti biasa, kalimat-kalimat justifikasi yang akhirnya dilontarkan.

Atau sebaliknya, ketika orang tua sedang menasihati anaknya, si anak menganggap bahwa orang tuanya sok tau atau bawel, sehingga si anak kerap menganggap orang tuanya cerewet, kemudian, si anak males mendengarkan petuah-petuah dari orang tuanya.

Atau ketika ada seorang teman yang sedang mencurahkan isi hatinya (atau yang kita kenal dengan istilah curhat), karena tidak bisa menjadi pendengar yang baik, kita hanya menganggap teman kita itu terlalu berlebihan atau lebay dalam menyikapi sesuatu.

Mulai sekarang, ketika ada orang lain yang ‘curhat’, jangan anggap hal tsb sebagai sesuatu yang berlebihan. Dengarkan dia dengan baik. Pahami apa yang sedang dia rasakan sebisa mungkin. Terkadang seseorang tidak mau berbagi cerita dengan orang lain bukan karena dia menikmati kesendiriannya dan tidak memiliki masalah, namun bisa jadi karena dia sudah sering berbagi cerita, tetapi hanya respon negatif atau justifikasi semata yang ia dapatkan, sehingga ia memiliki traumatis atau sekedar males untuk berbagai cerita dengan orang lain.

Terkadang seseorang yang curhat tentang sesuatu tidak melulu berarti ia meminta solusi atas apa yang sedang dihadapinya, namun sebenarnya ia hanya ingin didengar. Cukup ada yang mendengar.

Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang sedang orang lain rasakan ketika ia ‘curhat’ kepada kita. Kita tidak pernah benar-benar tahu bahwa pertanyaan sederhana berupa “apa kabar” dari seseorang adalah sebenarnya dia yang sedang menanyakan kabarnya sendiri.

Bahkan lebih buruknya, kita tidak pernah benar-benar tahu jika seseorang yang menghibur kita adalah orang yang sebenarnya sedang menghibur dirinya sendiri.

Jadi, latihlah diri kita untuk menjadi pendengar yang baik sebelum menjadi pembicara yang baik. Apalagi kalau mau jadi Dewan Perwakilan Rakyat.

Penulis:

Santri Backpacker

2 tanggapan untuk “Belajarlah Menjadi Pendengar yang Baik

  1. Dan sepertinya memang harus di galakan agar supaya bisa menjadi pendengar yang baik. Dan setelan baca ini, langsung ke rekam ulang kejadian kejadian lalu yang faktanya memang masih sangat lemah untuk menjadi pendengar yang baik.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Masih banyak orang yang belum bisa melakukan deep listening, bahkan satu di antara mereka adalah saya sendiri. Tulisan ini sebagai bentuk dari evaluasi diri penulis sendiri dan pembaca. dan saya pernah mengalami keduanya, sebagai orang yang merasa tidak didengar dan terkadang menjadi orang yang malas mendengar. Semoga semakin banyak orang yang mau mendengarkan cerita dan keluh kesah orang lain yang selama ini kita anggap sebagai curhatan receh, namun sebenarnya itu penting untuk orang tsb.
      dan yang paling penting adalah mendengarkan teman saat presentasi di kelas dan dosen yang sedang menerangkan sesuatu. hehe

      Suka

Tinggalkan komentar